Fotokita.net - Pencipta "Keluarga Cemara" itu telah berpulang. Ia yang juga membuat buka "Mengarang Itu Gampang" menderita kanker prostat, yang kemudian merenggut nyawanya. Dialah,Arswendo Atmowiloto sastrawan dan wartawan senior yang meninggal dunia pukul 17.50, Jumat (19/7/2019).
Hal ini dibenarkan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas yang juga tetangga dekat Arswendo, Tri Agung Kristanto. "Betul (meninggal dunia), pukul 17.55 anaknya, Soni Wibisono menyampaikan bahwa papa sudah enggak ada," ujar Tri, Jumat sore.
Arswendo Atmowiloto mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan terkenal. Lalu, di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang. Ia lahir tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah.

:quality(100)/photo/2019/06/25/2369439697.jpg)
Arswendo Atmowiloto, penulis Keluarga Cemara, ternyata sudah 2 bulan ini menderita kanker prostat. Kemarin, Arswendo dikabarkan drop.
Arswendo Atmowiloto menikah dengan Agnes Sri Hartini, pada tahun 1971. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga orang anak, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara.
Harry Tjahjono saat menjenguk Arswendo
Setelah keluar dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, ia bekerja di pabrik bihun dan kemudian di pabrik susu. Ia juga pernah bekerja sebagai penjaga sepeda dan sebagai pemungut bola di lapangan tenis.
Baca Juga: Viral FaceApp, Buat Pemakai Hape Android Ternyata Ada 3 Aplikasi Alternatif Buat Edit Foto Muka Tua!
Setelah itu, ia bekerja sebagai konsultan penerbitan Subentra Citra Media (1974—1990), sebagai pemimpin redaksi dalam majalah remaja Hai, sebagai pemimpin redaksi/penangung jawab majalah Monitor (1986), dan pengarah redaksi majalah Senang (1998).
Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat mengenai tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW, yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum dan divonis hukuman lima tahun penjara karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP. Setelah itu, ia menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota.
Ketika ia berada di dalam tahanan, ia menulis cerita bernada absurditas, humoris (anekdot), dan santai. Cerita tersebut bertema kehidupan orang tahanan beserta masyarakat umum di ibu kota yang mengalami keputusasaan dalam menghadapi sesuatu yang sulit. Arswendo pernah mendapat kecaman dan dianggap sebagai pengkhianat karena pendapatnya yang dianggapnya keliru oleh para pengamat sastra. Aswendo berpendapat bahwa “Sastra Jawa telah mati”. Ia sangat menghargai penulis komik, khususnya komik wayang dan silat yang dianggap banyak berjasa dalam pendidikan anak.
Penghargaan
1. Hadiah Zakse (1972) untuk esainya yang berjudul “Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi”
2. Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1972 dan 1973) untuk dramanya yang berjudul “Penantang Tuhan” dan “Bayiku yang Pertama”
3. Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk damanya “Sang Pangeran” dan “Sang Penasehat”
4. Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya Dua Ibu dan Mandoblang (buku anak-anak)