Pantas Pemimpin Khilafatul Muslimin Ngotot Bikin Negara Sendiri, Ternyata Punya Dendam Gegara Anaknya Jadi Korban Pembantaian TNI, Foto Sosoknya Dielu-elukan

Jumat, 17 Juni 2022 | 08:24
Antara via Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Fotokita.net - Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja terungkap ngotot membikin negara sendiri. Ternyata Baraja punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI. Foto sosoknya begitu dielu-elukan para anggota sistem khilafah.

Tim penyidik Polda Metro terus mengungkap sejumlah fakta baru perihal kelompok Khilafatul Muslimin. Organisasi yang didirikan oleh Abdul Qadir Hasan Baraja pada tahun 1997 ini ternyata memiliki paham atau ideologi yang menentang Pancasila. Polisi juga menyebutkan,Khilafatul Muslimin membangun sistem pemerintahan sendiri selayaknya sebuah negara.

Pantas pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja begitu ngotot bikin negara sendiri, ternyata dia punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI. Foto sosoknya begitu dielu-elukan oleh para pendukung ormas khilafah itu.

Dalam konferensi pers, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menjelaskan,Khilafatul Muslimin melakukan kejahatan yang menentang pemerintahan yang sah. Khilafatul Muslimin bergerak melakukan kejahatan secara tersembunyi tanpa disadari oleh korbannya.

"Senyatanya ormas ini telah membangun struktur pemerintahan, membangun suatu sistem kewarganegaraan dan susunan kemasyarakakatan, sistem pendidikan, sistem pertukaran barang dan jasa, yang keseluruhannya mengerucut pada adanya situasi yang menunjukkan adanya negara dalam negara," jelas Irjen Fadil yang berjumpa awak media di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (16/6/2022).

Jenderal bintang dua itu menyebutkan,setelah dilakukan adanya penyelidikan dan penyidikan ditemukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Khilafatul Muslimin ini. Fadil menekankanpihaknya akan melakukan penindakan hukum terhadap ormas yang menentang negara.

"Ditemukan adanya pelanggaran hukum. Di negara hukum yang melanggar hukum harus diproses secara hukum," jelasFadil.

Hasil penyelidikan polisi ditemukan adanya 14.000 warga Khilafatul Muslimin yang ditunjukkan dengan adanya nomor induk warga (NIK) layaknya sebuah Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Baca Juga: Ternyata Anak Pemimpin Khilafatul Muslimin Jadi Korban Pembantaian Umat di Lampung, Mertua Jenderal Andika Perkasa Ikut Terseret, Foto Dalangnya Dicari-cari

Khilafatul Muslimin dipimpin oleh amir khilafah, Abdul Qadir Hasan Baraja. Berdasarkan catatan polisi, Baraja tercatat ikut terlibat dalam sejumlah aksi teror di Indonesia.

Dalam pemeriksaan Abdul Qadir Baraja pun mengaku memiliki posisi kedudukan yang lebih tinggi dari Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Kedua orang itu diketahui merupakan pendiri dari Majelis Mujahidin Indonesia (MII) dan Jamaah Islamiyah (JI).

"Menurut pengakuan yang bersangkutan justru yang bersangkutan lebih tinggi dari Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Jadi ini yang perlu kami sampaikan," kataDirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi kepada awak media di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (16/6/2022).

Hengki juga menyebutkan, setelah mereka dibaiat menjadi anggota Khilafatul Muslimin, mereka diberi buku yang menjadi pedoman organisasi Khilafatul Muslimin. Menurut Hengki, ajarannya mengacu pada ajaran Kartosoewirjo yang merupakan proklamator Negara Islam Indonesia (NII).

"Kemudian warga-warga ini setelah mereka dibaiat akan diberikan buku saku. Buku saku ini latar belakang tegaknya Khilafatul Muslimin. Ini buku saku mereka di mana merujuk pada darul islam Kartosuwiryo. Acuan mereka ini mengacu pada ajaran dari pada Kartosoewirjo," jelas Hengki

Hal ini sejalan dengan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa Khilafatul Muslimin memiliki struktur mirip NII. Mereka memiliki struktur mulai dari amir khilafah hingga tingkatan terendah di desa.

"Pergerakannya, struktur dari mulai amir khilafah sampai dengan tingkatan terendah yaitu sistem pemerintahan desa, sesuai dengan struktur yang dijalankan NII," ujar Direktur Pembinaan Kemampuan BNPT, Brigjen Wawan Ridwan.

Pantas pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja begitu ngotot membikin negara sendiri, ternyata dia punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Talangsari, Lampung. Bagi pendukungnya, foto Baraja begitu dielu-elukan.

Baca Juga: Ternyata Gaji Menteri Pendidikan Khilafatul Muslimin Sumbernya Dari Sini, Pantas Anggotanya Tangisi Foto Uang Rp 2,3 Miliar yang Disita Polisi

Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Polisi memaparkan, Abdul Qadir Baraja terlibat dalam peristiwa kerusuhan Talangsari di Lampung pada 1989."Setelah kita interogasi lebih dalam juga ada kaitannya (Abdul Qadir Baraja) dengan peristiwa Talangsari yang bagian dari NII di Lampung. Dan putra yang bersangkutan meninggal di sana," kata Hengki.

Untuk kita ketahui, peristiwa Talangsari pada 1989 masuk kategori pelanggaran HAM berat. Dalam catatan Komnas HAM, peristiwa itu menewaskan 130 orang. Namun jumlah korban secara pasti dari peristiwa tersebut tidak diketahui hingga kini.

Camat Way Jepara Zulkifli Malik menulis laporan yang ditujukan kepada Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara Kapten Sutiman. Pada 28 Januari 1989, turun perintah dari Kapten Sutiman agar Warsidi menghadap.

Warsidi adalah seorang guru mengaji yang suka membahas masalah agama dalam sebuah kelompok kecil daripada berceramah di hadapan banyak orang. Sedikit tapi efektif.Kepala Desa tempat Warsidi tinggal pun kebagian tugas dari Sutiman mengawasi gerak-gerik Warsidi.

Pada 1 Februari 1989, ada laporan dari kepala desa setempat bahwa kelompok Warsidi mengadakan ceramah bernada ekstrem, mengumpulkan botol untuk bom molotov, dan mengadakan latihan beladiri. Pada4 Februari 1989, laporan dari kepala desa itu diteruskan Sutiman ke Kodim Lampung Tengah. Selanjutnya, Mayor E.O. Sinaga turun tangan. Tidak lupa, Kapten Sutiman mengirim beberapa anggotanya untuk mengintai pengajian Warsidi.

PadaPukul 23.00 malam 5 Februari 1989, rupanya pengintai yang dikirim Sutiman juga melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi. Anggoto kelompok Warsidi pun mengadakan rapat mendadak.

Pada6 Februari 1989, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Umbul Cideung. Setiba di tempat kelompok Warsidi, rombongan itu langsung diserang karena dikira akan menangkap Warsidi. Dalam bentrokan itu, Kapten Sutiman tewas. Tidak lama setelah itu, di tempat lain, Prajurit Satu Budi dibunuh Riyanto, pengikut Warsidi, yang kesal dengan kedatangan pejabat lokal yang datang.

Baca Juga: Bukan Cuma Menteri Pendidikan, Khilafatul Muslimin Ternyata Punya Pembantu Khalifah yang Khusus Kumpulkan Dana Operasional, Foto Sosoknya Terungkap

Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Tengah malam menjelang 7 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, Kolonel Hendropriyono memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menurunkan laporan terperinci yang berjudul Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan. Laporan itu menyebutkan pasukan yang dipimpin Hendropriyono dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat.

Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri, mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya.

Ibu Saudah, salah seorang saksi mata dari kelompok Warsidi yang masih hidup, memberi kesaksian bahwa pada pagi hari ia sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan di sana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 pagi.

Setelah dikumpulkan, sekitar dua puluh ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki aparat: “Ini istri-istri PKI." Di depan jemaah, seorang tentara mengatakan, “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya".

Masih menurut investigasi KontraS, seorang bocah lelaki dari kelompok Warsidi, Ahmad (10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke arah pondok-pondok dan membakarnya. Di bawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang. Bayi, anak-anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.

Berakhirlah hasrat kelompok Warsidi untuk hidup secara Islami dalam sebuah kampung yang eksklusif.

Baca Juga: Keliling Indonesia, Menteri Pendidikan Khilafatul Muslimin Sisipkan Ajaran Menyimpang dalam Tausiah, Foto Sosoknya Terekspos

Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Warsidi dan teman-temannya oleh pihak militer dituduh melakukan kegiatan subversif yang hendak menggulingkan pemerintah Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam. Tuduhan ini sangat berlebihan. Warsidi dan teman-temannya hanyalah kelompok kecil. Sumber daya manusianya sedikit dan rendah. Sebagian besar bahkan hanyalah tamatan Sekolah Dasar.

Selain tidak punya kemampuan untuk memberontak, mereka juga tidak punya niatan untuk mendirikan negara Islam. Kegiatan mereka di Cihideung adalah untuk membangun sebuah perkampungan yang menjamin para warganya menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Peristiwa Talangsari, sebagaimana peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Haur Koneng (1993), tak terlepas dari usaha Soeharto secara umum untuk memastikan tidak ada satu pun kelompok berbahaya yang bisa mengganggu pemerintahannya. Dengan dalih menyelamatkan Pancasila, setiap kelompok ekstrem, baik kanan maupun kiri, dicurigai.

Jenderal Soemitro, salah satu orang yang pernah menjadi kepercayaan Soeharto, menuliskan dengan jelas kecurigaan Orde Baru kepada kelompok Islam.

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrem kiri PKI—yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis menaikkan pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance).

Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal, Angkatan Darat menyadari ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit ekstremisme yang amat potensial. Sehingga, kebijakan umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrem kiri PKI dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Sukarno pada umumnya, “sambil amat berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam" (Heru Cahyono, Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974, 1998, hlm. 46).

Pantas pemimpin Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja ngotot bikin negeri sendiri, ternyata dia punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI. Foto sosoknya begitu dielu-elukan para anggota organisasi dengan ideologi khilafah itu.

Baca Juga: Ini Foto Tampang Menteri Pendidikan Khilafatul Muslimin yang Dicokok Polisi? Begini Caranya Dapat Dana Operasional

Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya