Fotokita.net - Sebelum gagas Vaksin Nusantara yang disebut salah kaprah, mantan Menkes Terawan Agus Putranto bikin gempar dengan metode cuci otak hingga pecat IDI.
Saat ini Vaksin Nusantara sedang menjadi perbincangan. Maklum, pengembangan dan uji klinis vaksin buatan negeri sendiri ini dianggap menyalahi kaidah ilmiah.
Vaksin Nusantara digagasoleh mantan Menkes, Terawan Agus Putranto dengan menggunakan sel dendritik.
Alasan Terawan melakukan hal itu karena dia pernah mengembangkan sel dendritik tersebut sejak di RSPAD Gatot Subroto pada 2015.
Kemudian, terlintas ide untuk mengembangkan vaksin Covid-19 menggunakan sel dendritik tersebut.
Terawan meyakini, vaksin nusantara tersebut sangat aman karena bersifat individual.
Jika disuntik Vaksin Nusantara, pasien hanya menerima suntikan vaksin yang berasal dari sel darahnya sendiri dan bukan orang lain.
Lebih lanjut, kata Terawan, saat ini vaksin nusantara dikembangkan oleh RSUP Kariadi Semarang bersama dengan Universitas Diponegoro.
Vaksin Nusantara belakangan ini menarik perhatian publik karena metode yang digunakan disebut menjadi yang pertama di dunia untuk Covid-19, yakni dendritik.
Vaksin Nusantara digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Sejumlah ahli memberikan komentar atas proses uji Vaksin Nusantara, terutama soal transparan dan paparan data pengujiannya.
Perkembangan terakhir, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, Vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah medis.
Diberitakan Kompas.com, 17 Februari 2021, Vaksin Nusantara disebut menggunakan pendekatan sel dendritik, dan tidak memasukkan virus corona nonaktif ke tubuh penerima.
Tim Peneliti Vaksin Nusantara FK Undip/RSUP dr Kariadi, Yetty Movieta Nency mengatakan, vaksin ini dibuat melalui sejumlah tahap.
Pertama, dengan mengambil darah dari tubuh seorang subjek atau pasien. Selanjutnya, darah itu akan dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan antara sel darah putih dan sel dendritik (sel pertahanan, bagian dari sel darah putih).
Sel dendritik ini akan dipertemukan dengan rekombinan antigen di laboratorium sehingga memiliki kemampuan untuk mengenali virus penyebab Covid-19 SARS-CoV-2.
Setelah sel berhasil dikenalkan dengan virus corona, maka sel dendritik akan kembali diambil untuk disuntikkan ke dalam tubuh subyek atau pasien (yang sama) dalam bentuk vaksin.
Dengan ini, pasien diharapkan memiliki kekebalan atau antibodi yang baik dalam melawan virus corona.
Dari proses pengambilan darah, laboratorium, hingga akhirnya menjadi vaksin yang siap disuntikkan, Yetty menyebutkan diperlukan waktu satu minggu.
Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, apa yang dilakukan oleh peneliti vaksin Nusantara sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Hal ini disampaikannya merespons tim peneliti vaksin Nusantara yang tidak melakukan penghentian uji klinik.
Bahkan, sejumlah anggota DPR diketahui menjadi relawan Vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Soebroto.
"Yang jelas sangat berbahaya untuk kesehatan masyarakat. Riset produk kesehatan itu masalah besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Dicky kepada Kompas.com, Kamis (15/4/2021).
"Kalau satu lembaga yang punya otorisasi dalam hal riset kesehatan ini diabaikan, berarti pelaku riset ini tak memahami kaidah ilmiah," lanjut dia.
Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan, vaksin Nusantara belum layak mendapat izin uji klinis fase II.
Dalam temuan BPOM, sebanyak 71,4 persen relawan uji klinis mengalami Kejadian Tak Diinginkan (KTD), berupa nyeri otot hingga gatal-gatal.
Selain itu, ada sejumlah syarat yang juga belum dipenuhi. Syarat yang belum dipenuhi di antaranya adalah cara uji klinik yang baik, proof of concept, good laboratory practice, dan cara pembuatan obat yang baik.
Menurut DIcky, langkah BPOM untuk tidak mengeluarkan izin uji klinis fase II sudah tepat.
Jika ada pihak yang menolak rekomendasi itu, Dicky mengatakan, pemerintah harus berani bertindak tegas karena berbahaya dan tidak memahami prosedur atau metode ilmiah.
Ia mengatakan, salah satu contoh ketidakpahaman pelaku riset di balik Vaksin Nusantara adalah melibatkan relawan yang sudah divaksin.
Jauh sebelum mengembangkan Vaksin Nusantara, mantan Menkes Terawan pernah berkonflik dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait metode penyembuhannya yang tak biasa.
Ia memiliki metode "cuci otak" untuk mengobati penyakit. Beberapa tokoh nasional yang sudah merasakan metode tersebut dan memberikan testimoni yang baik.
Namun, IDI menganggap metodedigital subtraction angiography(DSA) itu belum teruji secara klinis. Saat itu, Terawan dikenakan sanksi pemecatan sementara. Namun, kemudian IDI mengkaji ulang sanksi itu.
Dokter Terawan sendiri sebelumnya sudah terkenal karena sering menangani para pesohor negeri, termasuk yang terbaru saat dirinya menangani mendiang BJ Habibie.
Pria kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964 ini sendiri sempat menjadi sorotan karena terapi cuci otak aliasbrain wash dirinya dianggap kontroversial.
Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sampai mencopot keanggotan dokter Terawan dari organisasi itu.
IDIjuga menolak pemilihan dokter Terawan sebagai Menteri Kesehatan. Apa alasannya?
Pada April 2018, nama Terawan hangat diperbincangkan masyarakat. Saat itu Terawan memperkenalkan metode cuci otak atau brain wash yang diyakini dapat mengobati stroke.
Saat itu Terawan mengaku, terapinya memberi hasil bagus kepada pasien.
"Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi cuci otak itu," kata Terawan dilansir Wartakotalive.
Baca Juga: Resmi Diumumkan Jokowi, Begini Komposisi Menteri Kabinet Indonesia Maju. Adakah Wakil dari Papua?
Di lain sisi, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebut metode Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke belum teruji secara klinis.
Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.
Marsis menjelaskan, metode dan teknik pengobatan yang diterapkan Terawan telah teruji secara akademis ketika ia memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Namun, metode tersebut tetap harus diuji secara klinis dan praktis untuk bisa diterapkan kepada masyarakat luas.
Dianggap melanggar kode etik IDI
Kontroversi terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke berujung pada pemecatan sementara Terawan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
Ketua MKEK, dr Prijo Pratomo, Sp. Rad, mengatakan, MKEK tidak mempermasalahkan teknik terapi pengobatan DSA yang dijalankan Terawan untuk mengobati stroke. Namun yang dipermasalahkan adalah kode etik yang dilanggar.
"Kami tidak mempersoalkan DSA, tapi sumpah dokter dan kode etik yang dilanggar," ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (4/4/2018).
Prijo menyebut ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.
Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.
Pada pasal empat tertulis: Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter.
Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam.
Bunyi pasal enam Kodeki: "Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat".
"Sebetulnya kami tidak mengusik disertasi yang diajukan Terawan, apalagi Prof Irawan sebagai promotor," jelas Prijo.
Namun, temuan hasil penelitian akademik yang akan diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji hingga layak sesuai standar profesi kedokteran.Bukan berarti yang sudah ilmiah secara akademik lantas ilmiah secara dunia medis.
"Ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo. Tahapan-tahapan seperti itu harus ditempuh," imbuh Prijo.
Terapi pengobatan, kata Prijo, lagi-lagi mesti sejalan dengan sumpah dokter dan kode etik, termasuk dokter dilarang mempromosikan diri.
Testimoni yang berasal dari para pejabat, selebriti papan atas, atau pasien bukanlah evidence base yang menguatkan penelitian akedemik untuk layak dalam dunia medis.
Sanksi pemecatan dokter Terawan oleh IDI berlangsung selama 12 bulan sejak 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
"Harus dibuktikan kembali bahwa dengan cara itu saja apakah bisa menggantikan terapi konservatif yang ada? Belum tentu, dia harus membuktikan," kata Marsis kepada wartawan, Senin (9/4/2018).
(*)