Fotokita.net - Saat ini, menurut Kementerian Keuangan, pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif di mana belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.
Menurut pemerintah, ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas bisa menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi yang harus ditanggung masyarakat, kondisi ini membuat daya saing Indonesia menjadi rendah.
"Itu pilihan kebijakan. Kalau enggak utang, berarti kita menunda kebutuhan infrastruktur.
Masalah pendidikan, masalah kesehatan, mungkin tertunda. Jadi negara kita warganya banyak, tapi anak-anaknya bisa rentan," sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih lebih rendah dibandingkan sejumlah negara tetangga.
Untuk itu, pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar menjadi prioritas utama guna menciptakan kualitas SDM Indonesia yang produktif dan kompetitif.
Mengutip data United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2015, IPM Indonesia yaitu 0,689, atau masih di bawah Malaysia, Thailand, dan Singapura. Indonesia masih berada di atas Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000).
Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap proporsi utang Indonesia.
Dia mengaku kerap mendengar keluhan masyarakat yang membenci utang dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani
"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga. Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," kata Sri Mulyani seperti dikutip pada Senin (20/7/2020).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut, tak ada satu pun negara di dunia yang tak memiliki utang. Pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, dia membandingkan utang yang dilakukan negara-negara Islam.
Lalu, jika dibandingkan dengan Malaysia yang jadi negara paling dekat Indonesia, mana yang paling besar jumlah utang di antara kedua negara ini?
Mengutip laman resmi bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia atau BNM, total utang pemerintah Malaysia per Juli 2020 tercatat sebesar RM 823,79 miliar atau setara dengan Rp 2.839 triliun (kurs Rp 3.446 untuk setiap 1 Ringgit Malaysia atau RM).
Jika dirinci, keseluruhan utang pemerintah Malaysia ini terdiri dari RM 631,322 miliar berupa utang domestik, dan utang luar negeri RM 192,468 miliar.
Pemerintah Malaysia lebih banyak melakukan porsi pinjaman domestik ketimbang utang luar negeri.
Baru-baru ini, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000).
Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, total utang pemerintah hingga April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, total utang tersebut meningkat Rp 644,03 triliun atau 14,22 persen.
Sri Mulyani masih gantungkan nasib gaji ke-13
Sementara jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 5.192,56 triliun, total utang tersebut lebih rendah Rp 20,08 triliun.
Total utang tersebut setara dengan 31,78 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka itu masih dalam batas aman dalam Undang-undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003 yang menetapkan batas maksimal rasio utang pemerintah sebesar 60 persen dari PDB.
Laporan yang tercatat dalam APBN KiTa edisi April 2020 tersebut secara lebih rinci menjabarkan, total utang tersebut terdiri atas surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.338,44 triliun dan pinjaman sebesar Rp 834,04 triliun.
Lebih detilnya, total pemerintah dalam bentu SBN yang mencapai Rp 4.338,44 triliun terdiri dari SBN rupiah Rp 3.112,15 triliun dan dalam bentuk valuta asing (valas) sebesar Rp 1.226,29 triliun.
Sementara untuk pinjaman, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 824,12 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 9,92 triliun.
Khusus pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp 333,00 triliun, multilateral Rp 448,45 triliun, commercial bank Rp 42,68 triliun, sedangkan yang berasal dari suppliers nihil.
Pemerintah pun telah melakukan penarikan utang baru hingga akhir April 2020 sebesar Rp 223,8 triliun, naik naik 53,7 persen dari posisi April 2019 yang sebesar Rp 145,6 triliun.
Untuk realisasi pembiayaan utang per April 2020 itu setara dengan 22,2 persen dari target dalam Perpres Nomor 54 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.006,4 triliun.
Hingga akhir April 2020, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 92,82 triliun, atau tumbuh 12,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Adapun sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 335,16 triliun.
Sri Mulyani pada Januari lalu sempat mengatakan, negara tetangga seperti Filipina, Singapura hingga Jepang tercatat rasio utang terhadap PDB-nya sudah lebih dari 30 persen bahkan ada yang tembus di atas 50 persen.
Sri Mulyani mencontohkan, rasio utang Filipina mencapai 38,9 persen dari PDB, selain itu Malaysia sebesar 55,6 persen dari PDB, dan Singapura sebesar 113,6 persen dari PDB.
Adapun untuk negara berkembang rata-rata memiliki rasio utang 50,6 persen dari PDB, sementara rata-rata rasio utang negara maju sebesar 102 persen dari PDB.
Sri Mulyani memang bersemangat membahas soal utang Indonesia yang lebih besar dari Malaysia, tetapi saat ditanyakan kabar pencairan gaji ke-13 PNS menteri keuangan cuma berkomentar begini.
Kabar pencairan gaji ke-13 PNSakhirnya diungkapSriMulyaniIndrawati, Rabu (15/7/2020).
Kapan gaji ke-13 PNScair? Berkaca dari tahun sebelumnya, gaji ke-13 PNSseharusnya dicairkan sekitar bulan Juli atau saat memasuki tahun ajaran baru yang tahun ini dimulai sejak 13 Juli 2020.
Diketahui, tak semuaPNS,TNIdanPolriakan mendapatkan gaji ke-13 PNS karena pandemiCovid-19.
Gaji ke-13 diperkirakan baru akan dikucurkan pemerintah pada akhir kuartal IV tahun ini, atau sekitar bulan November atau Desember akhir 2020.
Namun untuk saat ini pencairangajike-13untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta anggota TNI dan Polri masih dalam pembahasan.
MenkeuSriMulyanimenjawab pertanyaan wartawan terkait kapan gaji ke-13 PNS TNI-Polri dan Pensiunan akan dicairkan.
Dalam jawabannya,SriMulyanihanya menjawab singkat soal kapan pencairangaji ke-13 PNS 2020 dan meminta ASN bersabar.
"Sabar. Nanti saja ya," ujarSriMulyanidikutip dari Tribuntimur.com. Rabu (15/7/2020).
Gaji ke-13 diperkirakan akan dikucurkan pemerintah pada akhir kuartal IV tahun ini, atau sekitar bulan November atau Desember akhir 2020.
Hal tersebut diungkap oleh Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.
"Ketika sudah agak turunCovid-19dan kalau dikasih di kuartal IV," ujarnya dikutip dari situs resmiKemenkeubelum lama ini.
Kementerian Keuangan juga sudah menganggarkangajike-13bagiPNS TNI,Polridanpensiunan.
Menteri KeuanganSriMulyanimenyebutgajike-13telah masuk dalamAPBN2020.
Kementerian Keuangan biasanya mencairkangajike-13 PNS TNIdanPolripada pertengahan tahun.
Namun, di 2020 ini, jajaranSriMulyaniternyata belum membahas kapan gaji-13 akan dicairkan.