Fotokita.net - Hubungan diplomatik antara Indonesia dan China sempat memanas pada awal tahun 2020. Sebelum ramai wabah virus corona, China sudah lebih dulu membuat berita dengan perilakunya yang arogan di Laut China Selatan hingga nekat memasuki wilayah ekonomi Indonesia.
Ketika itu kapal-kapal China kepergok memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif di perairan Natuna.
Belum lama ini bahkan panglima Komando Armada I TNI AL Laksamana Muda Muhammad Ali sempat memberikan fakta mengejutkan mengenai cara China memenangi pengendalian Laut China Selatan.
Dilansir Kompas.com, ia mengungkapkan kalau China membangun pulau buatan di perairan yang berdekatan dengan periran Natuna ini.
"Mereka bangun (pulau buatan) itu hanya dua-tiga tahun. Gerak cepat," ujar Ali dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (24/1).
Lanjutnya, ia juga mengatakan kalau pulau tersebut dibuat dari karang yang ada di perairan Laut China Selatan.
Ali juga mengugkapkan kalau sejumlah pulau bahkan dibangun seperti kota hingga dijadikan pangkalan militer.
"Padahal, itu dari karang, mereka bisa bangun 3.000 meter.
"Itu semua pesawat bisa mendarat di situ.
"Dari bomber, fighter, kargo," ucap Ali.
Selain itu Ali juga mengaku sempat melakukan penyelidikan terhadap aktivitas di pulau tersebut.
Penyelidikan ini dilakukan lewat pemantauan satelit.
Dari penyelidikan inilah diketahui kalau pulau tersebut juga menjadi markas kapal-kapal coast guard milik China.
"Itu mungkin bisa saja keinginan China itu untuk dijadikan garis pangkal militer.
"Meskipun itu bertentangan dengan hukum laut internasional," tuturnya.
Presiden Joko Widodo meninjau kesiapan kapal perang KRI Usman Harun di Puslabuh TNI AL di Selat Lampa, Natuna, Rabu (8/1/2020). Selain itu Jokowi juga mengadakan silaturahmi dengan para nelayan di Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa Natuna.
Padahal Sudah Dipantau 4 Jet Tempur, Kapal-kapal China Masih Bandel Mondar-mandir di Laut Natuna, Saking Geramnya Jepang Sampai Lakukan Ini untuk Indonesia
Sudah dikasih tahu tapi masih mengulang-ngulang lagi kesalahan, itu namanya ndablek alias bandel.
Istilah tersebut seperti pas disematkan kepada kapal-kapal China yang masih mondar-mandir di perairan Laut Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal-kapal itu sejatinya sudah sempat melipir setelah kedatangan Presiden Joko Widodo di awal minggu kedua Januari ini.
Mayor Mayor Jenderal Sisriadi juga bilang yang intinya sama saja.
Menurut pengintaian udara yang dilakukan TNI menunjukkan kapal-kapal China telah meninggalkan perairan di sekitar Natuna.
Dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (9/1/2020), Jenderal Sisriadi mengungkapkan:
"Kapal-kapal China yang melakukan penangkapan ikan ilegal telah keluar dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) setelah Presiden Jokowi tiba."
Walau Kalah Kelas, Hanya Kapal Perang TNI AL Inilah Jadi Lawan Menyulitkan Jiangkai Class China di Natuna Utara
Dalam jumpa pers yang dilakukan Kementerian Luar Negeri China, Gheng Suang bahkan sempat meminta Indonesia untuk tetap tenang menyikapi konflik Natuna.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah China telah melakukan komunikasi mengenai permasalahan Natuna melalui saluran diplomatik.
Hal ini dilakukan demi menjaga hubungan baik kedua negara (Indonesia dan China)
Meskipun diidenifikasi sempat meninggalkan perairan Natuna, Pemerintah Indonesia terus memantau dan siaga atas Perairan Natuna.
KRI Usman Harun dan empat jet tempur bahkan dikerahkan TNI untuk meningkatkan patroli pengamanan laut Natuna di Kepulauan Riau.
Sayangnya, meski presiden telah berkunjung ke Natuna dan menegaskan bahwa Natuna adalah milik Indonesia, rupanya tak membuat China menjadi jera.
Diberitakan oleh Kompas TV pada Sabtu (11/1/2020), kapal China berada pada 180 Mil dari pantai Ranai Natuna.
Arogansi China atas Perairan Natuna dipantau oleh pesawat intai maritim Boeing 737 AI-7301.
"Jumlahnya sekitar 30 KIA," kata Panglima Komando Gabungan Wilayah I (Pangkogabwilhan) Laksdya TNI Yudho Margono seperti dilansir akun facebook Puspen TNI, Sabtu (11/1/2020).
Mengetahui hal tersebut, Indonesia melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China dengan mengutus KRI Usman Harun, KRI John Lie dan KRI Satsuit Tubun yang juga berkoordinasi dengan Pangkogabwilhan 1.
Dikutip dari Kompas TV, Pangkogabwilhan 1 bahkan menekankan pada komandan Coast Guard China untuk paham mengenai hukum.
TNI AL Detasemen Jalamangkara.
Pangkogabwilhan 1 menilai, harusnya China paham tentang hukum laut internasional dan tidak melewati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah ditentukan.
Ditengah konflik China dengan Indonesia, Jepang hadir memberikan bantuan.
Dalam pertemuan Strategic Dialogue RI-Jepang, di Jakarta, Jumat (10/1/2020), Jepang melalui Menteri Luar Negerinya, Motegi Toshimitsu menyampaikan bahwa mereka sepakat mengintensifkan kerja sama pengembangan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di 6 pulau terluar Indonesia.
“Khusus untuk Natuna, selain industri perikanan, Jepang akan membantu hibah kapal pengawas perikanan dan jajaki pengembangan industri pariwisata,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, sebagaimana dilansir di setkab.go.id pada Senin (13/1/2020).
Hal tersebut tentu disambut baik oleh pemerintah Indonesia.
Presiden Joko Widodo dalam pertemuan tersebut juga mengajak Jepang untuk berinvestasi membangun fasilitas perikanan di pulau-pulau terluar Indonesia, salah satunya di Natuna.
Melansir dari South China Morning Post, (13/1/2020), kapal China terdorong untuk berlayar sejauh itu (di perairan Natuna) untuk mencari tangkapan karena stok ikan di perairan dekat China semakin menipis.
Sementara itu, konflik klaim perairan Natuna antara China dan Indonesia masih terus memanas.
Hal ini juga dikhawatirkan akan berpengaruh besar terhadap hubungan Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Lama menjadi konflik, Indonesia telah menegaskan posisinya terkait Laut China Selatan.
Yakni, menolak klaim China dengan mengatakan hal tersebut jelas tidak memiliki dasar hukum internasional.
Melansir The Jakarta Post, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mengirim surat protes seperti itu, meskipun zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara terletak berdekatan dengan perairan yang sangat disengketakan.
Dalam surat yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Selasa (26/5/2020), Indonesia menunjukkan "batas sembilan garis" yang dikeluarkan oleh Beijing tidak memiliki dasar hukum internasional dan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
Indonesia juga menandaskan bahwa peta nine dash line, yang dirambah di zona ekonomi beberapa negara Asia Tenggara, adalah fiktif dan tidak memberikan kedaulatan China atas wilayah tersebut.
Sementara itu, Beijing juga merespon Indonesia dengan mengirim surat diplomatik yang menunjukkan bahwa tidak ada sengketa wilayah antara China dan Indonesia di Laut China Selatan.
Mengutip Channel News Asia (CNA), catatan yang dikirim pada 2 Juni juga menuliskan:
“Namun, China dan Indonesia memiliki klaim yang tumpang tindih tentang hak dan kepentingan maritim di beberapa bagian Laut China Selatan.
"Tiongkok bersedia menyelesaikan klaim yang tumpang tindih melalui negosiasi dan konsultasi dengan Indonesia, dan bekerja sama dengan Indonesia untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan."
Berbicara pada konferensi pers pada 4 Juni, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan posisi Indonesia di Laut China Selatan sangat jelas dan konsisten.
Dia mengatakan, Indonesia ingin menegaskan kembali posisi yang konsisten, dalam menanggapi klaim China di PBB bahwa ia memiliki hak bersejarah di Laut China Selatan yang dapat mempengaruhi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE).
"Catatan diplomatik kami untuk PBB pada 26 Mei menegaskan kembali keberatan kami antara lain dengan apa yang disebut garis sembilan garis putus-putus atau yang disebut hak bersejarah," kata Retno mengutip CNA.
Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah mengatakan kepada CNA: "Saya pikir Indonesia cukup percaya diri dalam menyatakan posisinya di PBB ... Ini adalah cara damai untuk mengungkapkan keprihatinan, ini adalah cara diplomatik dari posisi Indonesia."
Dia menambahkan, "Kedua, Indonesia perlu memberi tahu Tiongkok bahwa sikap Indonesia konsisten. Dan untuk menunjukkan konsistensinya, ia berurusan dengan masalah ini di berbagai tingkatan, di tingkat unilateral, di tingkat bilateral, di tingkat regional, dan juga di tingkat global," kata sang sarjana dari Universitas Padjajaran di kota Bandung tersebut.
Dia juga percaya bahwa Indonesia memperkuat posisinya.
“Saya pikir sudah waktunya bagi China untuk melihat seberapa serius Indonesia dengan posisinya. Itu telah dilakukan dengan mengintegrasikan pelabuhan dan bandara di Natuna, dan telah mendesain ulang pelabuhannya di sana,” tambah Rezasyah.
(*)