Cerita Layangan Putus Jadi Viral dalam Sekejap, Lantas Kenapa Orang Gampang Banget Percaya Sama Kisah yang Belum Tentu Benar?

Selasa, 05 November 2019 | 07:36
Ilustrasi | Pixabay

Viral Postingan Layangan Putus, Bongkar Kebusukan Suami yang Tega Telantarkan Istri Sah dan Kelima Anaknya Demi Nikahi Pelakor yang Berstatus Selebgram

Fotokita.net - Kisah Layangan Putus menuai simpati dari warganet. Segera setelah mendapatkan atensi, netizen ramai-ramai membagikan cerita itu.

Beberapa hari ini, media sosial diramaikan dengan adanya kisah yang dijuluki Layangan Putus. Cerita itu mengisahkan tentang kondisi pasangan suami istri yang terpaksa berpisah karena adanya orang ketiga.

Bahkan viralnya kisah ini membuat banyak orang memercayai kisahnya hingga mencari tahu sosok laki-laki dan perempuan yang dituduh menjadi orang ketiga dalam hubungan itu.

Kejadian ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa banyak warganet yang terbawa emosi dengan kisah tersebut.

Baca Juga: Fenomena Langka di Arafah Kejutkan Para Jamaah, Syukur Tiada Akhir Pun Terucap. Petunjuk Apa yang Ingin Diberikan Sang Pencipta?

Padahal seperti diketahui, cerita itu belum diketahui kebenarannya. Menurut penelitian, banyak orang memiliki setidaknya pernah memercayai beberapa hal yang salah.

Lantas mengapa orang mudah memercayai hal itu?

Instagram

Layangan Putus

Melansir laman Psychology Today, salah satu penyebabnya adalah manusia secara rutin menggunakan jalan pintas mental untuk bisa memahami hal-hal yang terjadi di sekitar mereka.

Ini terjadi karena, manusia tidak memiliki waktu untuk menganalisis kebenaran kabar yang diterima dengan cermat.

Dengan demikian, manusia cenderung menggunakan aturan praktis yang cepat dan tidak disadari untuk menentukan apa yang harus dipercaya.

Baca Juga: Belajar Lewat YouTube, Lulusan SMK nan Kreatif Ini Ciptakan Helikopter dengan Sisihkan Uang Dapur! Lihat Karyanya yang Siap Uji Terbang

Sehingga, hal ini mengarahkan mereka untuk memercayai kabar yang belum diketahui kebenarannya. Adapun beberapa penyebab dari jalan pintas mental tersebut adalah:

Sebelum mengulas lebih lanjut tentang ketersediaan heuristik, Anda bisa menjawab pertanyaan ini.

Pekerjaan mana yang lebih berbahaya, polisi atau nelayan?

KOMPAS.com / RAJA UMAR

Aktivitas bongkar muat ikan hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja, Lampulo, Banda Aceh, Kamis (22/8/2019). Ikan hasil tangkapan nelayan Aceh mulai melimpah, namun harga merosot, seperti ikan tongkol dan sejenisnya dijual pedagang dengan kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 18 ribu

Mayoritas orang akan menjawab jika polisi mungkin menjadi pekerjaan dengan risiko yang lebih besar dibanding nelayan.

Namun, menurut US Bureau of Labour Statistic, ternyata nelayan rentan terbunuh. Dibanding dengan profesi polisi, nelayan memiliki risiko 10 kali lebih besar dibanding dengan profesi penegak hukum itu.

Tentu saja, hal ini tidak bisa menjadi patokan jika pekerjaan polisi memiliki risiko yang kecil. Keyakinan jika polisi merupakan pekerjaan dengan risiko lebih besar dibanding nelayan, disebabkan oleh ketersediaan heuristik.

Baca Juga: Berkali-kali Ucapkan Syukur, Sofyan Basir Beberkan Rencananya Usai Lolos dari Jeratan Hukum. KPK Pun Tak Tinggal Diam

Kondisi ini merupakan keadaan di mana manusia memilih untuk memikirkan jalan pintas yang mengarahkan seseorang untuk melebih-lebihkan suatu peristiwa.

Disukai atau tidak, sebagian besar orang dapat dengan mudah terombang-ambing oleh emosi yang terjadi.

instagram.com/raullemos06

Ilustrasi selingkuh

Manusia berpikir jika perasaan dan emosi mereka dikendalikan oleh logika dan alasan yang masuk akal. Sayangnya, hal ini selalu terbalik.

Terkadang, manusia pada akhirnya menggunakan kemampuan berpikir mereka untuk membenarkan perilaku mereka yang memang terbawa emosi.

Fenomena ini dikenal dengan nama emotional reasoning atau penalaran emosional yang bisa menyesatkan seseorang tanpa mereka sadari.

Baca Juga: Tak Peduli Jabatan Tinggi Sang Anak, Kakek dan Nenek Ini Tetap Kerja Keras Demi Sesuap Nasi. Menteri Pun Terinspirasi

Psikiater Aaron T. Beck pertama kali memperhatikan hal ini terhadap pasien yang mengalami depresi.

Dia menemukan banyak pasien yang menyimpulkan hal yang tidak benar terhadap diri mereka sendiri berdasarkan apa yang mereka rasakan, dibanding pada fakta sebenarnya.

Kondisi ini kemudian bisa memengaruhi keyakinan seseorang akan sebuah topik. Bahkan ketika mereka merasa takut, cemas, atau bahkan tidak nyaman terhadap suatu topik.

Maka, mereka dapat dengan mudah melompat ke kesimpulan jika topik tersebut buruk atau berbahaya.

Penn Medicine
Penn Medicine

ilustrasi wanita depresi

Sekali manusia percaya pada suatu hal, maka ia akan berpegang teguh pada hal tersebut.

Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk mencari informasi tambahan guna mendukung kepercayaan mereka, meski hal tersebut salah.

Hal ini dilatarbelakangi karena adanya kecenderungan manusia mengelilingi dirinya sendiri dengan hal yang mereka percayai.

Baca Juga: Tak Lagi Galak Pada Pemerintah, Anggota DPR Ini Bongkar Sosok yang Usulkan Prabowo Sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi

Sebagai contoh di media sosial, seseorang cenderung mengikuti akun-akun yang sesuai dengan kepercayaan dan kepribadian mereka sendiri.

iStockphoto
tommaso79

Bukan Hanya Tubuh, Di Era Media Sosial Mental Juga Butuh Olahraga

Kecenderungan inilah yang membuat mereka pada akhirnya mendapatkan pandangan sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Dengan kata lain, ketika sebuah kabar tersebar dan sesuai dengan apa yang diyakini, sebagian besar orang bisa langsung memercayainya. (Rosiana Haryanti/Kompas.com)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya