Terlalu Rumit untuk Diungkapkan, Peristiwa Berdarah G30S Tetap Akan Jadi Misteri Negeri Ini. Ada 5 Skenario Tentang Siapa Dalang Peristiwa Itu

Selasa, 01 Oktober 2019 | 07:51
Istimewa/Tribun Kaltim via Surya.co.id

Mantan Prajurit Cakrabirawa pasca tragedi G30S/PKI

Fotokita.net- Selama Orde Baru, penulisan peristiwa peristiwa berdarah 30 September 1965 selalu ditulis dengan G30S/PKI, merujuk doktrin satu-satunya dalang peristiwa berdarah itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tapi sejak 2004 atau 6 tahun setelah Orde Baru tumbang, kurikulum pendidikan tak lagi mencantumkan /PKI di belakang G30S.

Pada masa Orde Baru, penayangan film G30S/PKI menjadi agenda wajib.

Melansir dari Pos-kupang.com, masyarakat Indonesia didoktrin bahwa dalang dari tragedi 30 September 1965 adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca Juga: Jadi Cukong Pembangunan Masa Soekarno, Pengusaha Kaya Raya Asal Aceh Ini Berakhir Tragis Saat Soeharto Berkuasa. Inilah Cerita Penyebab Kejatuhannya...

Film G30S PKI

Selain itu, film Pengkhianatan G30S/PKI yang di masa Orde Baru, sejak 1984 diputar setiap tahun, dihentikan penayangannya.

Hal ini disebabkan pada berbagai penelitian setelah peristiwa G30S mengungkapkan fakta bahwa PKI bukan dalang tunggal.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, mengatakan, Presiden Pertama RI Soekarno pernah menyebut bahwa peristiwa G30S merupakan peristiwa yang sarat dengan kepentingan.

Baca Juga: Foto-foto Sendu yang Bercerita Tentang Tahanan Politik di Pulau Buru. Gara-gara Peristiwa G30S/PKI, Mereka Dibuang Tanpa Proses Pengadilan

“Soekarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab."

"Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam.

Dikutip dari Historia.id, dalam artikel berjudul Lima Versi Pelaku G30S, yang ditulis Randy Wirayudha, berikut kutipan lengkap artikel tentang dugaan 5 dalang peristiwa berdarah yang menjadi sejarah kelam Indonesia tersebut:

Dok via Pos-kupang.com
Dok via Pos-kupang.com

10 Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S

VERSI 1: Partai Komunis Indonesia (PKI)

DN Aidit, pemimpin PKI melambaikan tangannya. Ini merupakan versi rezim Orde Baru.

Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968).

Baca Juga: Cerita Muram Pelindung BJ Habibie Sewaktu Sekolah Di Jerman yang Harus Angkat Kaki dari Ibu Pertiwi Lantaran Peristiwa G30S/PKI. Ia Tak Mau Kembali Karena Alasan Ini

Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia.

Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

IST via Tribunjogja.com
IST via Tribunjogja.com

Pengangkatn jasad Brigjen Soetojo dari sumur di Lubang Buaya, 4 Oktober 1965

Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa.

Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S.

Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”.

Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh).

Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam.

Presiden Soekarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.”

Baca Juga: Cerita Unik, Raja Yogyakarta Ini Ramalkan Peristiwa G30S/PKI Setelah Berbincang dengan Ratu Laut Kidul

Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.

Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI.

Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada.

Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi.

Baca Juga: Usai Komunikasi dengan Nyai Roro Kidul, Sri Sultan Hamengkubuwono IX Telah Ramalkan Ada Peristiwa G30S/PKI

Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan.

Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan.

Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja.

Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu.

“Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim.

Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu,” kata Asvi.

VERSI 2: Konflik Internal Angkatan Darat

Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution.

Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey, mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat.

Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi.

Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno.

Baca Juga: Terungkap, Warga Pendatang Ternyata Diselamatkan Oleh Orang Asli Papua dengan Cara Ini Sewaktu Kerusuhan Wamena Pecah

Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.

Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Soekarnoisme.

Dalam faksi ini ada Jenderal TNI AH Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.

Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat.

Selain mendukung versi itu, WF Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk DN Aidit dan Angkatan Darat.

Baca Juga: Penduduk Asli Wamena Ikut Mengungsi Saat Kerusuhan Pecah, Jadi Siapa Pelaku Kekacauan Itu? Begini Kisah Haru Warga Pendatang yang Ditolong Orang Asli Papua

VERSI 3: Presiden Soekarno

Presiden Soekarno dan Presiden John F. Kennedy dalam lawatan tahun 1961.

Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.

Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”

Baca Juga: Deretan Foto Secercah Asa Bekas Tahan Politik di Pulau Buru

Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Soekarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Soekarno.

Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006.

Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.

IST/Wartakota via Surya.co.id
IST/Wartakota via Surya.co.id

Nasib mantan Prajurit pasca tragedi G30S/PKI

VERSI 4: Letjen Soeharto

Letjen TNI Soeharto, waktu itu menjabat Menpangad, menerima delegasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), salah satu organisasi antikomunis.

Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.

Baca Juga: Sebentar Lagi Dilantik Jadi Anggota DPR RI Bergaji Ratusan Juta Per Bulan, Akankah Mulan Jameela Turuti Pesan dari Fahri Hamzah yang Terpental dari Senayan?

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965.

Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi itu.

Kompas.com via Tribun Timur
Kompas.com via Tribun Timur

Bukan Hanya Mau Diracun Tikus, Soeharto Juga Dikirimi Barang yang Jadi Isyarat Bakal Meletusnya G30S/PKI

Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto.

Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri.

Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap:

1. menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965;

2. membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Soekarno;

3. menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno;

4. mengambilalih kekuasaan dari Soekarno.

Baca Juga: Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

VERSI 5: Central Intelligence Agency (CIA).

Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.

Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.

Menurut David T Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Soekarno beralih kebijakan, menyingkirkan Soekarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.

Opsi terakhir yang dipilih.

Baca Juga: Kisah Kemerdekaan Indonesia, Apa Maksud Soekarno Bilang, 'Pelacur Adalah Mata-mata yang Paling Baik di Dunia'?

Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber.

Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004).

Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.

Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T Wardaya.

Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad.

Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.

CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat).

NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya.

Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.

Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”

Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu.

Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat. (Putra Dewangga Candra Seta)

Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judulSosok Ini Blak-blakkan Ungkap Dalang G30S/PKI Siapa Pelakunya? PKI, CIA, Soeharto, atau Soekarno?

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya