Fotokita.net - Serangan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dikutuk umat Muslim sedunia. Tapi, siapa sangka Presiden ke-2 Indonesia Soeharto pernah mengakali pembelian jet tempur dari negeri Yahudi itu.
Serangan Israel terhadap warga muslim Palestina di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa Yerusalem kembali pecah.
Pada pekan ini, bentrokan kembali terjadi di dekat Masjid Al-Aqsa antara warga Palestina dan pasukan keamanan Israel. Setidaknya 300 orang terluka dalam bentrokan itu.
Bentrokan Israel dan Palestina ini bukan kali pertama terjadi di tempat suci umat Islam itu yang bersebelahan dengan tempat suci umat Yahudi, Temple Mount.
Pertama kali dibangun pada tahun 705 M, masjid Al-Aqsa telah sering menjadi titik bentrok antara orang Palestina dan Yahudi.
Sejak 12 April, berdasarkan laporan harian Israel Haaretz, ketegangan antara polisi Israel dan warga Palestina sudah dimulai.
Ketika itu polisi Israel memasang blokade untuk mencegah orang duduk di alun-alun gerbang Damaskus, yang merupakan area populer selama bulan Ramadhan.
Lalu pada 16 April, polisi membatasi hanya 10 ribu orang yang boleh berkumpul di Al-Aqsa. Puluhan ribu warga Palestina yang hendak beribadah diminta kembali.
Rupanya tak hanya dipicu oleh hal itu, namun Israel kerap mencoba mengusir warga Palestina dari rumahnya, dimulai pada tahun 1956 tidak lama setelah Israel memenangkan perang Arab-Israel pertama.
Melansir India Today, inti dari bentrokan Israel dan Palestina adalah upaya Israel untuk membatasi kegiatan masyarakat Palestina di Al-Aqsa, serta sengketa kepemilikan tanah di Sheikh Jarrah di Yerusalem.
Ini merupakan perselisihan yang dimulai sejak pembentukan Israel pada tahun 1948.
Perselisihan tersebut memperoleh momentum besar ketika Israel memenangkan Perang Arab pertama.
Konflik Israel dan Palestina yang sudah bertahun-tahun terjadi membuat Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik resmi. Sebagai negara berpunduduk mayoritas Muslim, Indonesia kerap mengecam sikap Israel terhadap Palestina.
Meski tak punya hubungan diplomatik resmi, Presiden ke-2 Indonesia Soeharto melakukan misi super rahasia, yang hanya diketahui oleh orang-orang dekatnya. Salah satunya, pembelian 32 pesawat tempur bekas A-4E Skyhawk milik Israel pada 1979.
Soeharto memercayakan misi super rahasia ini kepada Benny Moerdani. Melansir dari buku berjudul "Benny Moerdani Yang Belum Terungkap", berikut cerita misi super rahasia Soeharto.
Nama sandi misi super rahasia ini adalah Operasi Alpha, diambil dari huruf depan pesawat A-4E Skyhawk yang akan dibeli.
Pembelian pesawat tempur bekas A-4E Skyhawk secara diam-diam ini dilakukan karena Indonesia saat itu tak punya hubungan diplomatik dengan Israel.
Proses pembelian ini dilangsungkan dalam operasi rahasia bernama operasi Alpha.
Operasi ini merupakan operasi intelijen, karena saat itu Indonesia butuh pesawat canggih dari Israel, dengan teknologi terbaru.
Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Ashadi Tjahjadi dalam bukunya berjudul 'Loyalitas Tanpa Pamrih', menceritakan Benny Moerdani memberikan ancaman kepada para anggota yang ikut dalam misi super rahasia itu.
Benny mengancam tidak akan mengakui kewarganegaraan mereka jika misi ini gagal.
"Yang ragu-ragu silahkan kembali sekarang" ucap Benny di dalam buku Ashadi Tjahjadi.
Misi super rahasia ini cukup merepotkan intelijen Indonesia karena harus mengirim tim mulai dari teknisi hingga pilot, tentunya dengan diam-diam.
Semua identitas prajurit yang dikirim dalam misi ini dibuang di laut Singapura.
Bahkan, untuk menjaga kerahasiaan, mereka menyebut Israel dengan Arizona (negara bagian AS).
Djoko Poerwoko, salah satu anggota tim, dalam bukunya berjudul 'Menari di Angkasa', menceritakan bahwa awalnya mereka terbang ke Frankfurt, Jerman.
Usai beberapa kali ganti pesawat, tim pilot militer Indonesia ini tiba di bandara Ben Gurion, Tel Aviv, Israel.
Di Tel Aviv, para pilot itu langsung digiring petugas tanpa sempat menyerahkan surat jalan.
"Betapa hebatnya agen rahasia Mossad (intelijen Israel) yang dapat cepat mengenali penumpang gelap tanpa paspor" kata Djoko dalam bukunya.
Misi super rahasia Operasi Alpha berakhir pada 20 Mei 1980.
Tim pilot Indonesia ini kemudian pulang melalui Washington. Lalu, mereka ke Arizona, masuk ke pangkalan US Marine Corps.
Selama tiga hari mereka menjalani pelatihan versi Marine Corps, dan pada hari terakhir mereka diwajibkan berfoto dengan A-4E Skyhawk milik AS.
"Ini sebagai kamuflase intelijen" kata Djoko dalam bukunya.
Kembali ke Indonesia, mereka memamerkan Skyhawk ke publik pada peringatan HUT ABRI, 5 Oktober 1980.
Setelah beberapa dekade, operasi Alpha baru terkuak. Kerjasama militer, teknologi, dan intelijen yang menggunakan dana besar ini baru terbuka ke publik setelah lama tertutup kabut gelap.
Letjen TNI (Purnawirawan) Rais Abin, mantan panglima pasukan perdamaian PBB di Timur Tengah, mengungkap ke publik.
"Secara politik aneh kalau kita jual beli dengan Israel. Sementara, pesawat yang dibutuhkan di situ, adanya di Israel. Itu kerjasama intelijen yang bagus, sampai (hampir) semua orang tidak tahu," jelas Rais Abin seperti dikutip Munawir Aziz, Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Inggris.
Baca Juga: Foto Cantik Cristina Laws, Istri Perwira Polisi yang Viral Karena Mirip Barbie
Operasi Alpha lama terpendam dalam catatan sejarah. Sampai kemudian, buku otobiografi berjudul Menari di Angkasa terbit.
Buku itu, karya Djoko Poerwoko, seorang pilot TNI Angkatan Udara yang mengikuti pelatihan di Israel.
Pada sebuah hari di pertengahan Oktober 1993, tulis Munawir Aziz, seorang pejabat penting dari Israel datang ke Jakarta.
Pejabat itu ingin berdiskusi secara rahasia dengan Presiden Soeharto, sekaligus membangun kontak dengan tokoh-tokoh Muslim berpengaruh.
Baca Juga: Dulu Diadukan ke Wapres, Abu Janda Pamer Foto Bareng Ahok Usai Dapat Kabar Tengku Zul Wafat: Karma
Pada 16 Oktober 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin datang ke Jakarta, setelah sebelumnya melakukan lawatan diplomatik ke China dan Singapura.
Yitzhak Rabin tidak main-main, dia mengemban misi penting pemerintah Israel, untuk melangungkan lobi khusus dengan pemerintah Indonesia.
Latar belakang kerjasama intelijen dan perdangan yang berlangsung diam-diam menjadikan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel semacam teman tapi mesra.
Baca Juga: Tengku Zul Meninggal Dunia, Sang Ulama Tegaskan Baru Mau Bantu Pemerintah Jika Presiden Jokowi Wafat
Indonesia tidak punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel, tapi kerjasama intelijen dan perdagangan, nilai uangnya 400-500 juta dolar Amerika Serikat.
Nah, pada sisi itulah misi diplomatik Yitzhak Rabin menemukan konteksnya. Hal lainnya, Rabin ingin Indonesia lebih berperan dalam diplomasi Timur Tengah, khususnya mencairkan ketegangan Israel-Palestina.
Indonesia, sebagai aktor gerakan non-blok masih dianggap punya peluang besar untuk mempengaruhi proses perdamaian negara-negara kawasan Timur Tengah.
"My main goal is that the organization of non-aligned states will support the process and the agreements reached and that this will allow wide support in that part of the world, among those states that oppose or have reservations about the agreements," demikian pernyataan Yitzhak Rabin, sebagaimana diarsip UPI Archives (15 Oktober 1993).
Mengenai kunjungan Yitzhak Rabin ke Jakarta, motif-motif diplomasi interasional menjadi penting.
Kunjungan ini menunjukkan pragmatisme Soeharto dalam kebijakan luar negerinya.
Padahal, sebelumnya, opini yang berkembang luas betapa pertemuan itu mustahil, karena Soeharto tidak menganggap penting isu Islam atau agama, dalam kebijakan luar negeri.
Satu bulan setelah pertemuan dengan Rabin, Soeharto berkunjung ke Iran untuk mengimbangi perdebatan di ruang publik (Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, hal 77).
Menanggapi pertemuan rahasia Yitzhak Rabin dengan Soeharto, Gus Dur berkomentar via jaringan jurnalis internasional.
Komentar Gus Dur menjadi oase dari riuhnya perdebatan terkait relasi Soeharto dan pemerintah Israel, sesuatu yang menjadi sensitif, bahkan hingga sekarang.
"Tidak ada demonstrasi. Di kampung-kampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada yang marah-marah, tapi kita lihatlah reaksi masyarakat selanjutnya," demikian pernyataan Gus Dur kepada jurnalis BBC di Indonesia (18/10/1993).
Setahun kemudian, Gus Dur diundang Yitzhak Rabin. Dalam kunjungan itu, Gus Dur menjadi saksi atas deklarasi perdamaian Israel-Yordania. Djohan Effendy, intelektual Muslim, datang bersama Gus Dur untuk menjadi saksi sejarah itu.
Setelah kunjungan Rabin, perdebatan di kalangan Islam memanas. Pemerintah Soeharto dianggap menjalin kerjasama dengan Israel.
Jenderal Feisal Tanjung, menampik isu bahwa ada kerjasama antara militer Indonesia dan Israel. Meski demikian, transaksi ekonomi-perdagangan kedua negara naik drastis.
Baca Juga: Cara Menemukan Style Fotografi yang Kita Inginkan, Ternyata Mudah Kok!
Pada awal 1991, Indonesia mengekspor komoditas sejumlah 31 ribu dolar Amerika Serikat, yang jumlahnya melonjak pada tahun-tahun berikutnya sejumlah 1.7 juta dolar Amerika Serikat.
Pada Oktober 1994, sejumlah rombongan besar pengusaha-pengusaha dari Israel datang ke Jakarta (Retnowati Abdulgani-Knapp, Soeharto the Life and Legacy of Indonesia's Second President, hal 158).
Baca Juga: Foto Yuni Sophia Istri Bupati Nganjuk yang Viral di Aplikasi Smule Hingga Duet dengan Happy Asmara
(*)