Follow Us

Sempat Heboh Soal Desa Fiktif yang Bikin Kesal Menteri Sri Mulyani, Rupanya Ada 7 Desa yang Dihapus dalam Daftar Kemendagri Gara-gara Perkara Ini

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 24 November 2019 | 08:41
Bangunan kosong di desa yang tidak lagi berpenduduk karena berada di dalam kawasan peta terdampak lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (6/11/2019).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Bangunan kosong di desa yang tidak lagi berpenduduk karena berada di dalam kawasan peta terdampak lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (6/11/2019).

Lumpur panas menyembur di Kecamatan Porong sejak tahun 2006. Semburan lumpur itu menenggelamkan 671 hektar wilayah Sidoarjo yang tersebar di 19 desa dan 3 kecamatan, yakni Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Dari 19 desa itu, 15 desa di antaranya terdampak paling parah.

Baca Juga: Punya Desain Kamera Depan Baru, Hape Ini Bakal Merebut Hati Pecinta Fotografi

Desa-desa terdampak lumpur Lapindo ini sempat disebut sebagai bagian dari desa fiktif karena menerima aliran dana desa meski faktanya sudah tidak ada. Penduduknya juga tercerai berai. Sebanyak 15 desa itu rinciannya sebanyak 8 desa di Kecamatan Porong, 4 desa di Kecamatan Tanggulangin, dan 3 desa di Kecamatan Jabon.

”Ada tujuh desa yang hampir seluruh wilayahnya tenggelam. Rinciannya, 4 desa tenggelam murni, sedangkan 3 desa sengaja ditenggelamkan karena diperlukan untuk pembangunanspillway atau saluran pelimpah,” ujar Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.

Saiful mengatakan, desa-desa yang tenggelam itu adalah Desa Renokenongo, Kedungbendo, Ketapang, Besuki, Kelurahan Mindi, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Siring. Penduduk desa-desa itu juga sudah terpisah-pisah di sejumlah daerah. Seiring waktu, penduduk tersebut mulai mengurus administrasi baru sesuai dengan tempat tinggal. Tinggal sedikit yang masih beridentitas di desa asal.

Untuk desa yang wilayahnya tenggelam total ini diusulkan agar dihapus dari daftar desa di Sidoarjo. Adapun desa-desa terdampak yang sebagian wilayahnya masih ada dan sejumlah penduduknya juga masih tinggal di sana diusulkan untuk digabung. Penggabungan untuk mengoptimalkan pengembangan desa dan mempercepat pemulihan pascabencana.

Abdul Halim menambahkan, penggabungan ini memerlukan proses yang tidak sederhana. Salah satunya harus memenuhi ketentuan pembentukan desa baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Seperti halnya penghapusan desa, untuk penggabungan desa terdampak lumpur, prosesnya harus melalui pengusulan oleh Pemkab Sidoarjo ke Kemendagri. Setelah usulan disetujui dan mendapatkan nomor register baru, pemerintah selanjutnya harus membuat payung hukum berupa peraturan daerah.

Baca Juga: Tak Lagi Terdengar Kritik Pedasnya, Mantan Anggota DPR Ini Kini Sibuk Desak Partainya Agar Penuhi Keputusan Pengadilan. Nilainya Capai Miliaran Rupiah!

Sementara itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menggelontorkan dana Rp 1,3 miliar kepada Pemerintah Desa Watesari, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo, Jatim. Anggaran itu untuk mengakselerasi pengembangan agrowisata belimbing program inkubasi inovasi desa dan pengembangan ekonomi lokal. Desa Watesari menjadi proyek percontohan nasional.

Dalam kunjungan kerjanya, Abdul Halim Iskandar menyerahkan bantuan Pengembangan Usaha Ekonomi Desa sebesar Rp 840 juta. Dana tersebut disalurkan kepada 8 badan usaha milik desa (BUMDes) masing-masing Rp 50 juta untuk permodalan, 1 BUMDes senilai Rp 100 juta untuk pengembangan, dan 2 BUMDes masing-masing Rp 170 juta untuk revitalisasi pasar desa.

Dalam kesempatan itu, Halim juga meresmikan Desa Watesari sebagai desa agrowisata perkebunan belimbing. Desa ini memiliki usaha perkebunan seluas 2 hektar di tanah kas desa (TKD). Sedikitnya 3.000 tanaman belimbing ditanam di perkebunan, tanah pekarangan warga, dan area wisata.

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest