Sementara hutan sekunder adalah hutan yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga. Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.
Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.
"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," katanya.
Akan tetapi, pembakaran lahan selama dua dekade terakhir berbeda dengan yang ia ketahui selama ini.
"Sekarang kan orang datang ke Kalimantan, kemudian mereka meniru ini. Ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang (ingin) membuka lahan dengan cara mudah, bakar saja," ungkapnya.
Baca Juga: Enam Provinsi Darurat Kebakaran Hutan, Akankah Indonesia Kembali Ekspor Asap?
Hingga Senin (23/09), polisi sudah menetapkan sembilan perusahaan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan.
"Untuk jumlah tersangka korporasi ada sembilan tersangka. Bareskrim menetapkan PT AP sebagai tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin kemarin, seperti dikutip Kompas.com.
Sementara itu, hampir 300 individu juga ditetapkan sebagai tersangka, di mana 79 di antara mereka berasal dari Kalimantan Tengah.
Sumarni menganggap masyarakat adat Dayak 'dikorbankan' dalam kasus karhutla.
"Sebagai masyarakat adat, sebagai pemuda adat, kami merasa kenapa kami yang dikambing hitamkan? Padahal kami yang berjuang keras untuk menjaga hutan-hutan kami, melindungi apa yang tersisa," tuturnya.