"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".
Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.
Oleh karenanya, Sumarni sudah 'akrab' dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.
Sementara itu, Sumarni tidak menyangkal bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun warga Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang. Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.
"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.
Menurutnya, hutan primer adalah hutan yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."