Baca Juga: Lihat Foto-foto Keindahan Papua, Bianglala Surgawi di Khatulistiwa
Sapaan Bapa–Anak, Ade, Kaka, Mama, Mace, Pace, Paitua, dan lain-lain adalah bahasa keakraban dan persaudaraan sesama warga Papua dalam membahasakan diri, seperti penggunaan sebutan “masyarakat” untuk menyebut sesama secara inklusif.
Peneliti Senior LIPI Adriana Elisabeth mengingatkan pentingnya membangun dialog dalam semangat kesetaraan. “Masyarakat Papua itu ingin didengar. Di masa silam, masyarakat ditekan dan teraniaya. Biasanya sesudah mengeluarkan isi hati, dengan mudah masyarakat diajak bicara hati ke hati dan mencapai kesepakatan. Intinya adalah dialog,” kata Adriana.
Ia bersama almarhum Muridan Widjojo dan para peneliti LIPI merintis riset dan hubungan dengan seluruh masyarakat Papua sejak puluhan tahun. Pola pendekatan hati dan empati inilah yang dilakukan Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang mengangkat simbol-simbol Papua.
Bagi masyarakat Melanesia dan Austronesia di Pasifik Selatan, adat adalah identitas dan kehormatan. Masyarakat Papua sangat menghormati “Bapa Gus Dur” dan bagi warga Kristiani Papua, Jamaah NU adalah “Jemaat-nya Bapa Gus Dur pu Gereja” (jemaat Gereja yang dimaksud jamaah Nahdlatul Ulama) yang harus dijaga seperti menjaga diri sendiri.
Itulah mengapa masyarakat Samoa dan Hawaii dalam keluarga besar Republik Amerika Serikat sangat bangga dengan identitasnya yang bertahan, di tengah arus modernitas budaya populer Amerika Serikat.
Baca Juga: Apakah Benar Hal Ini yang Jadi Akar Penyebab Kerusuhan Warga di Manokwari?
Itu juga yang membuat masyarakat Chamorro di Kepulauan Mariana yang menjadi wilayah perlindungan Amerika Serikat, juga memelihara identitas adat budaya mereka. Turis dari Jepang, Korea Selatan, dan China kerap berwisata ke wilayah tersebut karena keindahan alam dan budaya masyarakat setempat.