Aktivitas makan, tidur, hingga bekerja sama dalam satu atap membuat hubungan semakin erat dan penggunaan kata “masyarakat” untuk membahasakan diri kami semua menjadi penting.
Kesetaraan dan persaudaraan masyarakat Papua berjalan lintas warna kulit dan agama. Semisal, tokoh Papua, Thaha Al Hamid yang seorang muslim, dihormati setara dengan para pemimpin adat Papua yang lain.
Persaudaraan Kristiani, Islam, dan berbagai kelompok di Papua sejatinya berlangsung cair dan lekat. Semisal di daerah Fakfak yang pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate di Maluku Utara, dihuni oleh warga Papua Muslim yang berhubungan erat dengan saudara-saudara Papua Kristiani di daerah sekitarnya.
Saat berjumpa dengan Thaha Al Hamid untuk membahas soal membuka Papua sebagai Pintu Indonesia ke Pasifik Selatan, Thaha pun dengan akrab memanggil penulis dengan sebutan “Anak”.
Baca Juga: Lihat Foto-foto Keindahan Papua, Bianglala Surgawi di Khatulistiwa
Sapaan Bapa–Anak, Ade, Kaka, Mama, Mace, Pace, Paitua, dan lain-lain adalah bahasa keakraban dan persaudaraan sesama warga Papua dalam membahasakan diri, seperti penggunaan sebutan “masyarakat” untuk menyebut sesama secara inklusif.
Peneliti Senior LIPI Adriana Elisabeth mengingatkan pentingnya membangun dialog dalam semangat kesetaraan. “Masyarakat Papua itu ingin didengar. Di masa silam, masyarakat ditekan dan teraniaya. Biasanya sesudah mengeluarkan isi hati, dengan mudah masyarakat diajak bicara hati ke hati dan mencapai kesepakatan. Intinya adalah dialog,” kata Adriana.
Ia bersama almarhum Muridan Widjojo dan para peneliti LIPI merintis riset dan hubungan dengan seluruh masyarakat Papua sejak puluhan tahun. Pola pendekatan hati dan empati inilah yang dilakukan Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang mengangkat simbol-simbol Papua.