Fotokita.net - Presiden Joko Widodo memilih pakaian adat dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, untuk menghadiri Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2020 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta (14/8/2020).
Pakaian adat itu terdiri dari topi, kain tenun menyilang di bagian dada dan digunakan untuk sarung, yang dilengkapi dengan aksesoris berupa kalung dan sabuk yang juga berwarna emas.
Warna emas pada kain khas pulau Sabu itu semakin tampak semakin tegas lantaran dipadankan dengan kemeja hitam lengan panjang pada bagian dalam.
Untuk melengkapi penampilan, Presiden menggunakan masker berwarna hitam.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, Suku Sabu merupakan suku yang tinggal di pulau Rai Hawu atau yang biasa disebut Sabu.
Pulau ini masuk dalam pemerintahan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Suku Sabu memiliki pakaian adat yang berbeda untuk pria dan wanita. Pakaian adat untuk pria seperti yang dikenakan Jokowi biasanya dipakai oleh masyarakat dan ketua adat saat menghadiri acara adat, termasuk ritual pemakaman.
Pada umumnya pakaian ini dipakai dengan dalaman kemeja putih lengan panjang. Kain tenun dan selendang diselempangkan menyilang pada bahu.
Pada bagian kepala, suku Sabu mengenakan ikat kepala berupa mahkota tiga tiang yang terbuat dari emas, dilengkapi dengan aksesoris berupa kalung multisalak, sabuk berkantong, perhiasan leher (habas) dan sepasang gelang emas.
Terlepas dari isi pidato presiden, baju adat yang dikenakan mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun menjadi sorotan.
Jokowi diberitakan menggunakan pakaian adat dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

:quality(100)/photo/2020/08/14/2800557488.jpg)
Presiden Jokowi atau Joko Widodo
Busana yang dikenakannya didominasi warna hitam dan emas, mulai dari penutup kepala, kain yang menyilang di dada dan yang digunakan sebagai sarung, hingga sabuk.
Secara kesan, penampilan Jokowi hari ini justru dianggap agak menakutkan, bahkan diibaratkan seperti orang yang pergi berperang.
Mengapa demikian?
"Terlepas dari saya sebagai akademisi Tata Busana, tapi sebagai orang yang melihat, kok menakutkan.
Intinya bukan kesan keceriaan, tetapi sesuatu yang menegangkan."
Demikian diungkapkan Dosen Prodi Pendidikan Tata Busana, Universitas Pendidikan Indonesia, Dr. Suciati, S.Pd., M.Ds saat dihubungi, Jumat.
Presiden Jokowi
Faktor yang membuat tampilan Jokowi memberi kesan menakutkan dan penuh ketegangan tidak hanya karena pemilihan warna hitam dan emas yang dominan serta penggunaan masker, tetapi juga karena kain yang disilangkan di dada.
"Itu juga memberikan kesan yang berbeda dengan kalau selendang disimpan di kiri atau kanan saja, atau kiri-kanan tapi bentuknya lurus.
Karena ini dibuat diagonal, kesannya juga tegas. Itu juga memberikan satu ketegangan," sambungnya.
Kesan tersebut memang berkurang ketika Jokowi masuk ke dalam ruang sidang dan melepas maskernya.
Namun, kesan lain yang tertangkap adalah kesan kurang rapi dan terburu-buru. Ini terlihat dari penutup kepala yang kurang tegak dan cenderung turun, beberapa unsur garis yang bertubrukan di area dada, hingga penataan kain di bagian pinggang yang kurang rapi serta tampak 'ngatung'.
Perpaduan item yang digunakan Jokowi juga memberi kesan berat ketika dipakaikan pada figurnya yang tinggi dan kurus.
"Beberapa garis bertubrukan jadinya. Silang, lengkung, apalagi dengan hitam, termasuk sinjang yang di atas dengan rumbai-rumbai terkesan acak-acakan seperti segala dibawa."
"Mengapa seperti itu? Aslinya pasti telanjang dada jadi penambahan masker, kemeja, pantalon (celana), dan sepatu menyebabkan menjadi kesan tadi," ujar Suciati.
Meski begitu, menurutnya perlu ada penelusuran lebih jauh untuk mengetahui lebih dalam makna di balik baju adat Suku Sabu yang digunakan Jokowi.
Ia berharap, busana yang dipakaikan pada Jokowi memang busana yang digunakan oleh tokoh tertinggi di adat tersebut untuk upacara adat tertinggi.
Selain itu, perlu ditelusuri lebih lanjut pula apakah struktur busananya sudah sesuai pakem atau tidak, apakah boleh ada penambahan elemen lain, dan lain sebagainya.
"Apalagi kalau ditelusuri lebih jauh, ini pidato kenegaraannya mengenai apa? Kenapa suku itu yang dipilih?
Adakah keterkaitan antara hitam dengan emas? Dengan motif flora yang lebih menonjol?
Dengan penataan seperti itu, yang dominan adalah silang di dada yang didiagonalkan? Itu perlu penelusuran lebih jauh," kata Suciati.
Sesuai pakem adat Mengapa penggunaan busana adat idealnya mengikuti pakem?
Suciati menjelaskan, ada sebuah sistem penandaan yang mengandung makna, mulai dari pemilihan tekstur kain, warna, motif, model, hingga padu padan kelengkapan dan warna.
Selain itu, busana adat tersebut juga digunakan oleh pimpinan tertinggi negara dalam sebuah acara kenegaraan.
"Kecuali kalau pakaiannya untuk kita-kita saja. Kalau untuk negarawan pada akhirnya itu memberikan signified dan signifier (petanda dan penanda) yang berbeda, karena busananya dipakai oleh tokoh," ungkapnya.
Untuk itulah, penelusuran lebih jauh mengenai pakem busana adat Suku Sabu perlu dilakukan.
Baca Juga: Mau Terima Bansos Rp 600 Ribu Tiap Bulan? Ternyata Karyawan Swasta Harus Terdaftar di Sini
"Kalau memang pakemnya, apapun kesannya, mau menakutkan, menceriakan, kalau memang pakemnya begitu, ya sebagai masyarakat kita hanya bisa menangkap kesan saja."
"Tapi kalau tidak pakem, sudah banyak diubah, maka saya sarankan lebih baik yang ditonjolkan menunjukkan kewibawaan seorang negarawan.
Kalau tadi seperti orang mau perang, tegang, menakutkan, 'riweuh'," ucapnya.
Suciati mencontohkan sosok Presiden pertama RI, Soekarno yang kerap tampil sederhana dalam berpakaian, namun tetap sesuai aturan.
Cara berpakaian tersebut memberikan makna lebih pada jiwa Bung Karno yang patriotik, disiplin, dan modis.
Maka, penting adanya sosok seorang desainer yang mampu membantu atau memberikan saran yang tepat kepada Presiden mengenai busana.
Desainer dapat membantu menyesuaikan estetika penampilan tidak hanya dengan postur pemakai, tetapi juga dengan jiwa pemakai.
"Karena postur adalah suatu anugerah, maka trik dari desainer yang bisa mengubah apapun adanya pemakai itu dia bisa terlihat lebih baik," ungkap Suciati.
(Kompas.com)